AMBIVALENSI PENDIDIKAN
Fidel Hardjo
Berita “aneh” datang dari dunia pendidikan, tidak pernah absen. Mulai dari korupsi Kadis pendidikan, segerombolan anak ditelan pasir di Ende, pemboikotan sekolah jarak jauh, gusra-gusru penelantaran penari Lembata di Jakarta, sampai pada keengganan pemda menyeponsori anak berbakat mengikuti lomba ilmiah di Ibu Kota Negara. Kita mau maju atau mundur ini?
Ambilvalensi
Kita tiba pada stage: patah arang! Tidak ada lagi “Ratu Adil” yang bisa menyulap kerisauhan rakyat. Banyak orang berbicara dalam kebingungan. Tapi, tak lebih, saling mengambinghitamkan. Tanpa melihat dengan jernih duduk perkara. Yang bengkok dilihat lurus. Yang lurus dikira bengkok (teori Paralaks, Ilmu Fisika). Inilah aras utama kebingungan. Tapi, mengapa kita tidak belajar dari sejarah?
Amerika pasca perang dingin tahun 80-an pernah menggelar “Nation at Risk”. Lantas pendidikan AS waktu itu, mengalami penyeokkan total akibat konsentrasi perang dingin. Pendidikan berantakkan. Maka, lahirlah propaganda “No Children Left Behind”. Dari sini, “reborned-lah” negeri Pamansam, seadekuat sekarang ini.
Jepang pun sama. Setelah kehancuran Nagasaki dan Hirosima, Jepang mulai membangun jiwa bangsanya dari pendidikan, dari titik zero. Maka, jadilah Jepang seanggun sekarang. Korea, Singapura, Cina pun, mengawali jaman booming ekonominya, juga berawal dari penataan fondasi pendidikan kokoh.
Ada satu kesadaran kompulsif. Bangsa seraksasa apapun sekarang, tidak pernah luput dari sejarah kesuraman. Bahkan mereka lebih terkutuk dari kondisi kita. Tapi mereka sadar bahwa di ujung lorong selalu ada titik terang (post nubila jubilia) yaitu kesadaran resureksionis (kebangkitan) dimulai dengan pendidikan.
Ada yang katakan, kebangkitan itu dimulai dengan; proyek pembangunan mesti banyak. Uang juga butuh triuliunan. Tidak sedikit juga katakan, tangkap dulu koruptor. Bahkan, ada yang usulkan sebaiknya orang muda memimpin. Membingungkan. Semuanya, non par excellent, tidak menyentuh “zona keakaran” dari segala ketimpangan dan kejanggalan yang meresahkan.
Howard Gardner (The Disciplined Mind, 1999) menegaskan, kembang-kempis jantung kemajuan bangsa tergantung pada pendidikan. Tidak ada bangsa yang bodoh. Semua orang pintar. Hanya kecerdasan setiap bangsa/orang berbeda bidangnya. Ini sebagai kritikan arogansi Barat. “East is east. West is west. Never twain shall meet” (R. Kippling). Arogansi ini sama sekali konyol, nonsense!
Gardner meyakinkan kita, bahwa betapa pendidikan sangat menentukan pembingkaian kemajuan bangsa. Mengapa terjadi kemunduran seperti terlihat dalam aksi korupsi, pemerasan, penipuan, dan ketidakadilan dalam masyarakat? Artinya, ada the existential vacuum (kehampaan mendalam) dalam pendidikan!
Diktator dan Diktatoris
Teman saya asal Jawa, berkomentar penuh hipotesis gelitik, tentang pendidikan Indonesia, “Jangan harap ada perubahan di Tanah Air kita lho, karena generasi kita dibesarkan dalam kintal sekolah, di mana guru sebagai Diktator dan murid sebagai Diktatoris”. Apa artinya, tanya balikku, dengan gaya sedikit inocentil.
Guru menjadi diktator (tuan diktat, diktat 10 tahun nga pernah update, menyuruh mahasiswa menyembah menghafal diktat). Ia berorasi dari awal hingga akhir, ngga peduli murid ngerti apa ngga. Guru bertindak sebagai diktator karena apa pun yang ia katakan adalah benar dan murid harus meng-'ya'-kan semuanya.
Diskusi yang menjadi metode sahih pembelajaran seolah-olah menjadi “penyakit berbahaya”, yang perlu dieliminasi oleh Diktator. Berani bertanya, antara dua: digebuk atau mendapat angka merah seumur hidup. Di kintal inilah, pemimpin dan generasi baru kita dididik. Tidak heran sekeras apapun kita teriak, jangan korupsi, dan dengarlah suara rakyat kecil. Jangan harap didengar/diindahkan.
Muridnya menjadi diktatoris (yang didiktati, penyembah dan penghafal diktat). Artinya, ilmu mahasiswa bergantung 100% di diktat. Kerjanya pegang diktat sampai kumal, hafal sampai berbusa-busa. Diktat menjadi monopoli sumber ilmu pengetahuan bahkan tiket untuk menjadi Pegawai Negeri. Perpustakaan, penelitian, internet dijauhi, seakan penyakit maut mematikan.
Implikasinya, situasi kita tidak banyak berubah. Benar kata Latin, Bona Culina, Bona Disciplina (dapur baik akan menentukan disiplin baik). Dapur itu adalah sekolah-sekolah kita, mulai TKK sampai PT. Jadi, tak sedikit generasi kita sekarang, dididik dalam kintal dapur yang ambruk, pengap, otoriter, diktator, diktatoris seperti dinarasikan oleh kawan saya di atas.
Tidak perlu terkejut. Mengapa korupsi merajalela, siswa disuruh angkut pasir dan bukan bersekolah, pungli kepsek, kadis pendidikan korup, para profesor gunjang-ganjing sekolah jarak jauh (sementara yang dekat tak terurus baik), pengen maju tapi siswa daerah berprestasi dicuekin, penganggur output pendidikan membludak. Semua ini, punya relasi serius dengan radius kebobrokkan dapur pendidikan kita.
Lorong Kebangkitan
Jika Rumah Besar NTT ini, ingin bangkit. Tidak cara lain, selain perlu menelusuri lorong pendidikan (dapur) kita yang sudah tergasak. Dunia pendidikan kita perlu direformasi serius, diatur, dianimasi ke arah baik, benar dan bagus. Mulai dari kintal sekolah, yayasan, ruang kelas, sampai pada reposisi peran guru-murid diktator-diktatoris menuju common space dialogal-komunikatif.
Howard Gardner (1999) psikolog dan ahli peneliti pendidikan, pernah menjelajah hampir seluruh sekolah di dunia, menyebutkan tiga animatif kunci pendidikan pembelajaran apresiasi: Baik ( Good) , Benar (True) dan Bagus (Beautiful).
Pertama, belajar baik-buruk tentu berpautan dengan moral. Bayangkan, di sekolah kita, tidak pernah diajarkan korupsi, pemerasan, diktator, diktatoris, otoriter sebagai yang buruk. Semuanya, seolah-olah baik adanya. Contoh saja, Soeharto tidak pernah diajarkan sebagai sang koruptor di sekolah. Malah, dimaafkan tanpa pengadilan. Tidak heran, 50-an anggota DPR di Jakarta berbondong-bondong korupsi. Jadi, orang daerah juga ikut-ikutan?
Kedua, belajar benar-salah, lebih berkaitan dengan kajian rasionalitas. Contoh saja. Berapa banyak profesor dan mahasiswa kita terjun ke dalam dunia penelitian dan jurnal ilmiah. Bagaimana kita mengetahui secara baik, potensi/impotensi NTT, kalau output pendidikan kita berbasis pada profesor diktator dan mahasiswa diktatoris. Justru, generasi baru kita dituntun untuk percaya pada magik-mistis, gosip dan paranormal daripada kajian ilmiah.
Ketiga, belajar bagus-jelek. Di sekolah, mana ada ajar, tentang bahasa lokal, nyanyi dan cipta lagu, drama dan lawak lokal. Semuanya, kita miliki. Hanya kapan dan bagaimana produk lokal ini dijadikan aset yang produktif. Inilah akibat apriori akut produk lokal selalu jelek. Yang baik, indah, cantik datang dari luar.
Hasilnya, ketika pilkada tiba, orang pilih selebriti, ibu-ibu nonton sinetron impor 24 jam. Satu episode terlewatkan, mungkin satu minggu bakal tidak tidur nyenyak. Mana mau urus anak-anak. Alhasil, banyak generasi baru kita, sangat menyembah budaya Metropolis, Amerika, dan Cina dariapada budaya sendiri.
Nah, kita mau maju atau mundur ini? Budist bermenung sebentar, lalu berceloteh, “what you have become is what you have thought.” Kalau kita pikir NTT selalu mundur, maka yang terjadi adalah penggagalan masif. Sebaliknya, jika kita beroptimis NTT ini maju, maka “our future is in our hand. Sooner or later!
Penulis, Alumnus STFK Ledalero, Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.
Berita “aneh” datang dari dunia pendidikan, tidak pernah absen. Mulai dari korupsi Kadis pendidikan, segerombolan anak ditelan pasir di Ende, pemboikotan sekolah jarak jauh, gusra-gusru penelantaran penari Lembata di Jakarta, sampai pada keengganan pemda menyeponsori anak berbakat mengikuti lomba ilmiah di Ibu Kota Negara. Kita mau maju atau mundur ini?
Ambilvalensi
Kita tiba pada stage: patah arang! Tidak ada lagi “Ratu Adil” yang bisa menyulap kerisauhan rakyat. Banyak orang berbicara dalam kebingungan. Tapi, tak lebih, saling mengambinghitamkan. Tanpa melihat dengan jernih duduk perkara. Yang bengkok dilihat lurus. Yang lurus dikira bengkok (teori Paralaks, Ilmu Fisika). Inilah aras utama kebingungan. Tapi, mengapa kita tidak belajar dari sejarah?
Amerika pasca perang dingin tahun 80-an pernah menggelar “Nation at Risk”. Lantas pendidikan AS waktu itu, mengalami penyeokkan total akibat konsentrasi perang dingin. Pendidikan berantakkan. Maka, lahirlah propaganda “No Children Left Behind”. Dari sini, “reborned-lah” negeri Pamansam, seadekuat sekarang ini.
Jepang pun sama. Setelah kehancuran Nagasaki dan Hirosima, Jepang mulai membangun jiwa bangsanya dari pendidikan, dari titik zero. Maka, jadilah Jepang seanggun sekarang. Korea, Singapura, Cina pun, mengawali jaman booming ekonominya, juga berawal dari penataan fondasi pendidikan kokoh.
Ada satu kesadaran kompulsif. Bangsa seraksasa apapun sekarang, tidak pernah luput dari sejarah kesuraman. Bahkan mereka lebih terkutuk dari kondisi kita. Tapi mereka sadar bahwa di ujung lorong selalu ada titik terang (post nubila jubilia) yaitu kesadaran resureksionis (kebangkitan) dimulai dengan pendidikan.
Ada yang katakan, kebangkitan itu dimulai dengan; proyek pembangunan mesti banyak. Uang juga butuh triuliunan. Tidak sedikit juga katakan, tangkap dulu koruptor. Bahkan, ada yang usulkan sebaiknya orang muda memimpin. Membingungkan. Semuanya, non par excellent, tidak menyentuh “zona keakaran” dari segala ketimpangan dan kejanggalan yang meresahkan.
Howard Gardner (The Disciplined Mind, 1999) menegaskan, kembang-kempis jantung kemajuan bangsa tergantung pada pendidikan. Tidak ada bangsa yang bodoh. Semua orang pintar. Hanya kecerdasan setiap bangsa/orang berbeda bidangnya. Ini sebagai kritikan arogansi Barat. “East is east. West is west. Never twain shall meet” (R. Kippling). Arogansi ini sama sekali konyol, nonsense!
Gardner meyakinkan kita, bahwa betapa pendidikan sangat menentukan pembingkaian kemajuan bangsa. Mengapa terjadi kemunduran seperti terlihat dalam aksi korupsi, pemerasan, penipuan, dan ketidakadilan dalam masyarakat? Artinya, ada the existential vacuum (kehampaan mendalam) dalam pendidikan!
Diktator dan Diktatoris
Teman saya asal Jawa, berkomentar penuh hipotesis gelitik, tentang pendidikan Indonesia, “Jangan harap ada perubahan di Tanah Air kita lho, karena generasi kita dibesarkan dalam kintal sekolah, di mana guru sebagai Diktator dan murid sebagai Diktatoris”. Apa artinya, tanya balikku, dengan gaya sedikit inocentil.
Guru menjadi diktator (tuan diktat, diktat 10 tahun nga pernah update, menyuruh mahasiswa menyembah menghafal diktat). Ia berorasi dari awal hingga akhir, ngga peduli murid ngerti apa ngga. Guru bertindak sebagai diktator karena apa pun yang ia katakan adalah benar dan murid harus meng-'ya'-kan semuanya.
Diskusi yang menjadi metode sahih pembelajaran seolah-olah menjadi “penyakit berbahaya”, yang perlu dieliminasi oleh Diktator. Berani bertanya, antara dua: digebuk atau mendapat angka merah seumur hidup. Di kintal inilah, pemimpin dan generasi baru kita dididik. Tidak heran sekeras apapun kita teriak, jangan korupsi, dan dengarlah suara rakyat kecil. Jangan harap didengar/diindahkan.
Muridnya menjadi diktatoris (yang didiktati, penyembah dan penghafal diktat). Artinya, ilmu mahasiswa bergantung 100% di diktat. Kerjanya pegang diktat sampai kumal, hafal sampai berbusa-busa. Diktat menjadi monopoli sumber ilmu pengetahuan bahkan tiket untuk menjadi Pegawai Negeri. Perpustakaan, penelitian, internet dijauhi, seakan penyakit maut mematikan.
Implikasinya, situasi kita tidak banyak berubah. Benar kata Latin, Bona Culina, Bona Disciplina (dapur baik akan menentukan disiplin baik). Dapur itu adalah sekolah-sekolah kita, mulai TKK sampai PT. Jadi, tak sedikit generasi kita sekarang, dididik dalam kintal dapur yang ambruk, pengap, otoriter, diktator, diktatoris seperti dinarasikan oleh kawan saya di atas.
Tidak perlu terkejut. Mengapa korupsi merajalela, siswa disuruh angkut pasir dan bukan bersekolah, pungli kepsek, kadis pendidikan korup, para profesor gunjang-ganjing sekolah jarak jauh (sementara yang dekat tak terurus baik), pengen maju tapi siswa daerah berprestasi dicuekin, penganggur output pendidikan membludak. Semua ini, punya relasi serius dengan radius kebobrokkan dapur pendidikan kita.
Lorong Kebangkitan
Jika Rumah Besar NTT ini, ingin bangkit. Tidak cara lain, selain perlu menelusuri lorong pendidikan (dapur) kita yang sudah tergasak. Dunia pendidikan kita perlu direformasi serius, diatur, dianimasi ke arah baik, benar dan bagus. Mulai dari kintal sekolah, yayasan, ruang kelas, sampai pada reposisi peran guru-murid diktator-diktatoris menuju common space dialogal-komunikatif.
Howard Gardner (1999) psikolog dan ahli peneliti pendidikan, pernah menjelajah hampir seluruh sekolah di dunia, menyebutkan tiga animatif kunci pendidikan pembelajaran apresiasi: Baik ( Good) , Benar (True) dan Bagus (Beautiful).
Pertama, belajar baik-buruk tentu berpautan dengan moral. Bayangkan, di sekolah kita, tidak pernah diajarkan korupsi, pemerasan, diktator, diktatoris, otoriter sebagai yang buruk. Semuanya, seolah-olah baik adanya. Contoh saja, Soeharto tidak pernah diajarkan sebagai sang koruptor di sekolah. Malah, dimaafkan tanpa pengadilan. Tidak heran, 50-an anggota DPR di Jakarta berbondong-bondong korupsi. Jadi, orang daerah juga ikut-ikutan?
Kedua, belajar benar-salah, lebih berkaitan dengan kajian rasionalitas. Contoh saja. Berapa banyak profesor dan mahasiswa kita terjun ke dalam dunia penelitian dan jurnal ilmiah. Bagaimana kita mengetahui secara baik, potensi/impotensi NTT, kalau output pendidikan kita berbasis pada profesor diktator dan mahasiswa diktatoris. Justru, generasi baru kita dituntun untuk percaya pada magik-mistis, gosip dan paranormal daripada kajian ilmiah.
Ketiga, belajar bagus-jelek. Di sekolah, mana ada ajar, tentang bahasa lokal, nyanyi dan cipta lagu, drama dan lawak lokal. Semuanya, kita miliki. Hanya kapan dan bagaimana produk lokal ini dijadikan aset yang produktif. Inilah akibat apriori akut produk lokal selalu jelek. Yang baik, indah, cantik datang dari luar.
Hasilnya, ketika pilkada tiba, orang pilih selebriti, ibu-ibu nonton sinetron impor 24 jam. Satu episode terlewatkan, mungkin satu minggu bakal tidak tidur nyenyak. Mana mau urus anak-anak. Alhasil, banyak generasi baru kita, sangat menyembah budaya Metropolis, Amerika, dan Cina dariapada budaya sendiri.
Nah, kita mau maju atau mundur ini? Budist bermenung sebentar, lalu berceloteh, “what you have become is what you have thought.” Kalau kita pikir NTT selalu mundur, maka yang terjadi adalah penggagalan masif. Sebaliknya, jika kita beroptimis NTT ini maju, maka “our future is in our hand. Sooner or later!
Penulis, Alumnus STFK Ledalero, Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.
Dimuat di Pos Kupang.